Tahyudin Thea AGAR DICINTAI ALLAH SWT...
Berbahagialah orang yang
meninggalkan dunia sebelum
dunia meninggalkannya, yang
membangun kuburannya sebelum
memasukinya dan yang ridha
kepada Tuhannya sebelum berjumpa dengan-Nya." (Yahya bin Muadz ar-Razi dalam An-
Nawawi, Nasha'ih al-'Ibad, hlm.
12). Mengomentari pernyataan di
atas, Imam an-Nawawi
menyatakan: Pertama,
'meninggalkan dunia' sebelum
'dunia meninggalkannya'
bermakna menghabiskan harta dalam berbagai amal kebajikan
sebelum Allah mencabut harta itu
dari dirinya. Kedua, 'membangun
kuburan' sebelum memasukinya
bermakna memperbanyak amal
shalih saat di dunia sehingga ia bisa merasakan kedamaian di
alam kuburnya saat
kematiannya. Ketiga, ridha
kepada Tuhannya sebelum
berjumpa dengan-Nya adalah
dengan menjalankan seluruh perintah Allah dan menjauhi
semua larangan-Nya sebelum ia
menghadap Allah SWT untuk
mempertanggungjawabkan
seluruh perbuatannya. Jika direnungkan, pernyataan di
atas sesungguhnya amat dalam
maknanya dan amat berharga.
Apalagi jika dikaitkan dengan
realitas kehidupan kaum Muslim
saat ini. Saat ini, sebagaimana kita lihat,
banyak Muslim yang hidupnya
berkecukupan. Namun, banyak di
antara yang berkecukupan itu
menghabiskan hartanya justru
dalam perkara-perkara yang kurang bermanfaat, bahkan
dalam perkara-perkara maksiat.
Tak sedikit orang yang dengan
mudah membeli segelas kopi
seharga puluhan ribu di hotel
mewah, tetapi begitu susah mengeluarkan beberapa rupiah
saja untuk bersedekah. Banyak
orang dengan yang dengan
ringan merogoh sakunya ratusan
bahkan jutaan rupiah untuk
menyewa kamar di hotel berbintang beberapa malam saja,
namun betapa berat mereka
menyumbang untuk dakwah atau
membangun masjid meski dengan
jumlah yang sedikit. Tak sedikit orang berlomba
membangun rumah atau
apartemen mewah meski tentu
hanya untuk hidup sementara
saja. Anehnya, mereka tak
sedikitpun tertarik untuk berlomba-lomba 'membangun
kuburannya' (baca: dengan
memperbanyak amal shalih
sebagai bekal di dalamnya).
Padahal alam kubur itulah yang
akan mereka tempati, sebagai alam penantian, sebelum pada
akhirnya ia tinggal di alam
akhirat dengan abadi. Banyak pula orang yang jarang
menunaikan perintah-perintah
Allah SWT dan malah banyak
meninggalkan larangan-larangan-
Nya, seolah-olah ia tak pernah
ridha menerima semua itu dari Tuhannya; seakan-akan ia tak
akan pernah bertemu dengan-
Nya di Hari Akhir nanti untuk
mempertanggungjawabkan selu-
ruh sikap dan amal
perbuatannya itu saat di dunia. Agar kita tak terjebak dengan
perilaku-perilaku di atas,
alangkah baiknya kita
merenungkan kata-kata Syaikh
Abdul Qadir al-Jilani saat beliau
betutur, "Jika Anda berjumpa dengan seseorang di antara
manusia, Anda hanya melihat
keutamaan dan keunggulan
dirinya dari-pada Anda seraya
berkata, 'Boleh jadi Allah
menjadikan dia lebih baik dan lebih tinggi derajatnya daripada
aku.' Jika orang yang Anda
jumpai itu lebih muda dari Anda,
Anda berkata, 'Dia tentu lebih
sedikit bermaksiat kepada Allah,
sedangkan aku telah banyak bermaksiat kepadanya sehingga
tentu ia lebih baik daripada aku.'
Jika orang yang Anda jumpai
lebih tua dari Anda, Anda
berkata, 'Dia tentu lebih banyak
beribadah daripada aku.' Jika orang yang Anda jumpai adalah
orang yang berilmu, Anda
berkata, 'Dia tentu mendapatkan
karunia dari Allah apa yang tidak
aku peroleh, mengetahui banyak
hal dari apa yang tidak banyak aku ketahui dan dia pasti telah
banyak mengamalkan ilmunya.'
Jika orang yang Anda jumpai
adalah orang awam/bodoh, Anda
berkata, 'Kalaupun ia bermaksiat
kepada Allah tentu karena ketidaktahuan dan ketidak-
sadarannya, sedangkan jika aku
bermak-siat kepada-Nya tentu
dengan sepenuh pengetahuan
dan kesadaranku.'..." Dengan kata-katanya ini tentu
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani tidak
sedang menyuruh kita bersikap
pesimis dan ber-kecil hati. Beliau
hanya ingin agar kita selalu
bersikap rendah hati dan tahu diri, bahwa dalam hal kebajikan
dan amal shalih boleh jadi kita
belum apa-apa dibandingkan
dengan orang lain.Dengan itu,
kita akan selalu terpacu untuk
menjadi orang yang lebih baik daripada orang lain. Sebaliknya,
kita pun dituntut untuk sadar
diri, bahwa boleh jadi kita lebih
banyak berdosa dan bermaksiat
dibandingkan dengan orang lain.
Dengan itu, kita akan lebih banyak bertobat dan
meninggalkan lebih banyak lagi
maksiat. Dengan semua itu,
justru kita akan lebih mulia dalam
pandangan Allah SWT. Benarlah
kata-kata Imam Ali kw., "Jadilah Anda 'besar' (mulia) dalam
pandangan Allah SWT dan kecil
dalam pandangan Anda sendiri." Wa mâ tawfîqî illâ billâh. []